TEORI ERIK ERIKSON
Erik
Erikson merupakan orang pertama yang menemukan istilah “krisis identitas” dan orang yang mengembangkan Teori Kepribadian
dari Sigmund Freud. Erikson tidak menyangkal pendapat Freud dan mengenalkan
“cara baru untuk melihat sesuatu”. (Erikson, 1963). Teori Pasca-Aliran Freud
yang diperkenalkan oleh Erikson lebih menekankan kepada sosial dan sejarah
perkembangan kepribadian seseorang, bukan dari sudut pandang psikoseksual
seperti yang disampaikan oleh Freud. Erikson menyebutkan bahwa perjuangan
psikososial sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa
remaja, perjuangan tersebut disebut krisis identitas, titik balik kehidupan
seseorang yang dapat memperkuat atau melemahkan kepribadian seseorang.
Dalam teori perkembangan
psikoanalitis, perhatian utama diberikan kepada lima tahun pertama dan pada
perkembangan insting. Dengan demikian, tahap pertama adalah signifikan bukan
hanya karena kenikmatan di mulut, tetapi
karena dalam situasi makan berkembang hubungan rasa percaya dan tak
percaya antara bayi dengan ibu. Demikian pula, tahap anal adalah signifikan
bukan hanya karena adanya perubahan erogenous
zone, tetapi juga karena toilet training adalah situasi sosial yang
signifikan dimana anak bisa mengembangkan kemandirian
Menurut Erikson (1950), tahap
latensi dan genital adalah periode ketika individu mulai mengerti pentingnya
berusaha dan kesuksesan, atau merasakan kelemahan diri dan mungkin juga
mengerti tentang dirinya sendiri atau mulai memahami peran-peran yang berbeda
yang harus dijalaninya. Menurut Erikson, tugas penting remaja adalah membangun
pemahaman identitas ego, yakni berusaha meyakini bahwa cara pandang dirinya
memiliki kesinambungan dengan masa lalu dan sesuai dengan persepsi orang lain,
dalam berjuang mencari identitas ini mungkin akan menyebabkan remaja bergabung
dengan berbagai kelompok dan berusaha mencari tahu tentang pilihan karakter
yang tepat.
Dalam risetnya terhadap proses
pembentukan identitas, Marcia (1994) mengidentifikasi empat status individu
dalam proses ini. Dalam Identity Achievement, individu membangun pemahaman
identitas melalui eksplorasi.Dalam Identity Moratorium, individu berada di
tengah-tengah krisis identitas, individu seperti ini dapat melakukan fungsi
psikologis tingkat tinggi, sebagaimana yang diindikasikan melalui pemikiran
yang kompleks dan penalaran moral dan juga menilai intimasi. Dalam Identity
Forecolsure, individu mencapai pemahaman identitas tanpa melalui proses
eksplorasi, individu seperti ini cenderung kaku dan sensitif terhadap
manipulasi atas harga diri mereka.Identity Difussion, individu tidak memiliki
pemahaman identitas atau komitmen. Orang semacam ini amat mudah turun harga
dirinya, sering tidak terorganisir pemikirannya, dan memiliki masalah dengan
intimasi.
NILAI PENTING PENGALAMAN AWAL
Teori
Psikoanalitis memberikan perhatian besar pada peran peristiwa-peristiwa dalam
kehidupan awal bagi perkembangan kepribadian di kemudian hari. Banyak kehidupan
orang dewasa yang merupakan pengulangan tema yang di bentuk sepanjang tahap
perkembangan awal.Hubungan antara perilaku keterikatan awal dan patologi di
kemudian hari, ada dua aspek dari hasio studi yang patut mendapatkan perhatian.
Pertama, hubungan tersebut berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Bagi
anak laki-laki, klasifikasi keterikatan pada usia satu tahunamat berhubungan
dengan patologi pada masa kemudian hari. Di sisi lain, tidak ada hubungan
antara keterikatan dan patologi dikemudian hari pada anak perempuan. Kedua,
para peneliti menunjukan perbedaan antara upaya mencoba memprediksi patologi dari
data tahun awal (prospektif) dengan upaya untuk memahami patologi di kemudian
hari berdasarkan kesulitan dalam menjalani keterikatan pada masa awal
(retrospektif).
Sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, isu relevan yang berkaitan dengan nilai penting pengalaman usia
dini bagi perkembangan kepribadian di masa mendatang adalah bersifat kompleks.
Mungkin kita harus mencari pendekatan lebih mendetail ketimbang mencari jawaban
hitam putih.Mungkin sebagian karakteristik kepribadian, setelah terbentuk,
menjadi lebih resisten terhadap perkembangan dibandingkan yang lain. Peran
pengalaman usia dini juga mungkin bergantung kepada intensitasnya, durasinya,
dan sejauh mana pengalaman yang berbeda itu terjadi di usia dini dan di
kemudian hari. Terakhir, kita dapat melihat perbedaan antara apa yang mungkin
terjadi dan pasti terjadi. Teori Psikoanalitis bisa jadi akurat dalam memotret
kemungkinan efek dari pengalaman usia dini, khususnya sebagaimana yang tampak
dalam berbagai bentuk gangguan psikologis di mana pola hubungan dibentuk pada
tahun-tahun awal dan terus dipertahankan dari waktu ke waktu, namun tanpa
mempostulatkan bahwa peristiwa tersebut tidak dapat dihindarkan.
Ego
dalam Teori Erik Erikson
Erikson
mengatakan bahwa ego merupakan kekuatan positif yang menciptakan jati diri atau
rasa “saya”. Selain itu, ego juga disebut sebagai pusat kepribadian seseorang.
Ego membantu seseorang untuk beradaptasi dengan berbagai konflik dan krisis
dalam hidup serta menjaga untuk tidak kehilangan kekuatan individualitas dalam
masyarakat yang selalu berkembang. Ego terbentuk dan semakin memiliki kekuatan
seiring tumbuh dan berkembangnya seorang individu. Dalam hal ini, Erikson
melihat ego sebagai agen pengatur setengah tidak sadar yang menyatukan
pengalaman sekarang dan jati diri di masa lalu serta gambaran diri yang
diharapkan. Erikson mendefinisikan ego sebagai kemampuan seorang individu untuk
menyatukan pengalaman-pengalaman serta
tindakan-tindakan dengan cara yang efektif (Erikson, 1963).
Ada
3 (tiga) aspek ego yang saling berhubungan, yaitu ego tubuh, ego ideal, dan ego
identitas. Ego tubuh merupakan ego yang mengacu pada pengalaman-pengalaman yang
dialami oleh tubuh seseorang, yaitu cara memandang secara fisik sebagai sesuatu
yang berbeda antara individu satu dengan yang lain. Ego ideal merupakan
gambaran seorang individu terhadap dirinya sendiri dibandingkan dengan hal yang
ingin dicapai diri ideal dan ego ideal bertanggung jawab atas kepuasan atau
ketidakpuasan atas semua jati diri seseorang. Yang terakhir, ego identitas
yaitu gambaran terhadap peran sosial yang dimainkan oleh seorang individu dalam
lingkungan sosialnya. Biasanya ketiga komponen ego ini berkembang pesat pada
masa remaja, tetapi tidak semua orang mengalaminya di masa remaja melainkan di
tahap kehidupan yang lain.
Erikson
mempercayai bahwa ego berkembang dengan menggunakan prinsip epigenetik, yaitu prinsip perkembangan seperti perkembangan
embrio atau janin. Maksudnya adalah, ego berkembang sesuai dengan tahapan atau
urutan sama seperti perkembangan janin dimulai dengan bentuk yang tidak
sempurna tumbuh dan berkembang menjadi sempurna. Satu tahapan muncul dan
dibangun berdasarkan tahapan sebelumnya, tetapi tidak menggantikan tahapan
sebelumnya.
Tahap-tahap
Perkembangan Menurut Erik Erikson
Masa
Bayi (Percaya Dasar vs Tidak Percaya
Dasar)
Periode
yang meliputi setahun pertama dari kehidupan individu. Erikson berfokus pada
hal yang lebih luas dari sekedar tahapan oral seperti Teori Freud. Erikson
menyatakan bahwa pada masa bayi, seorang individu bukan hanya menerima melalui
mulut tetapi dari alat indera lainnya baik rangsangan visual maupun informasi
lainnya (sensori-oral). Karena mulai menerima berbagai informasi, maka tumbuh
juga rasa percaya dasar versus rasa
tidak percaya dasar serta kekuatan harapan.
Percaya
vs tidak percaya terbentuk dari hubungan interpersonal bayi dengan pengasuh
utamanya (biasanya ibu mereka). Rasa percaya dasar akan terbentuk ketika bayi
merasa secara konsisten mendengar suara ibu yang ramah dan hangat serta
mendapat makanan regular dari ibu. Selain itu, rasa percaya dasar juga timbul
apabila bayi menemukan kecocokan kultur dan lingkungan yang sesuai dengan
sensori-oral mereka. Sedangkan rasa tidak percaya dasar akan terbentuk ketika
bayi tidak menerima lingkungan sosial utama yang positif. Bayi harus
mengembangkan kedua sikap baik percaya maupun tidak percaya. Apabila rasa
percaya terlalu besar membuat individu mudah ditipu dan rapuh, sedangkan rasa
percaya yang terlalu sedikit membuat individu mudah frustasi, amarah, sifat
permusuhan, sikap sinis, atau depresi. Erikson mengatakan bahwa rasio rasa
percaya dan tidak percaya merupakan hal penting untuk menentukan kemampuan
adaptasi seseorang.
Konflik
antara rasa percaya vs tidak percaya memunculkan harapan. Tanpa hubungan perlawanan antara rasa percaya
dan tidak percaya, manusia tidak bisa mengembangkan harapan. Bayi harus
merasakan lapar, haus, sakit, dan tidak nyaman serta harus mengalami pengalaman
menyenangkan dan menyakitkan sebagai pelajaran untuk berharap gangguan di masa
depan dapat terselesaikan. Apabila bayi tidak mengalami perlawanan atau
antithesis dari percaya vs tidak percaya, mereka akan mengalami penarikan
diri dan dengan sedikit harapan akan
menarik diri dari dunia luar. Hal tersebut memicu dan menuju gangguan
psikologis serius kedepannya.
Masa
Anak Awal (Otonom vs Rasa Malu/Ragu)
Berlangsung pada tahun kedua dan
ketiga dalam kehidupan individu. Apabila Freud berpandangan bahwa kepuasan
psikoseksual ada pada anus, sedangkan Erikson berpandangan lebih luas mengenai
hal tersebut. Erikson berpendapat bahwa kesenangan pada tahap ini meliputi
penguasaan fungsi tubuh lainnya seperti buang air kecil, berjalan, memegang
atau mengenggam, dan lainnya. Dalam tahap ini, anak-anak juga mengembangkan
rasa kendali terhadap lingkungan personalnya.
Pada tahap ini, penyesuaian
psikoseksual utama pada anak adalah gaya otot-uretral-anal. Maksudnya adalah
selain belajar menggunakan toilet, anak juga belajar untuk menjalankan berbagai
fungsi yang dimiliki oleh tubuhnya, seperti berjalan, mengeggam, memeluk,
berpegangan pada suatu objek, dan lainnya. Hal-hal tersebut berkaitan pada kerja otot-uretral-anal.
Masa yang penuh dengan perlawanan
antara pengungkapan diri dan pemberontakkan diri memicu konflik psikososial
utama pada tahap ini yaitu otonomi versus rasa malu dan ragu. Mereka cenderung
bersikeras dengan hal yang baru mereka pelajari dan menemui kultur yang
berusaha menghambat pengungkapan diri mereka. Misalnya, orang tua yang marah
ketika anak mengotori celana dan mengacaukan makanan yang ada akan menimbulkan
rasa malu dan ragu yang memicu tidak berkembanganya standar yang dimiliki sang
anak. Mereka akan malu dan ragu untuk menunjukkan dirinya. Kedua rasio antara
otonomi dengan rasa malu dan ragu seharusnya condong pada otonomi yang
merupakan kualitas sintonik (harmonis) pada masa anak-anak awal. Anak-anak yang
terlalu sedikit mengembangkan otonomi akan mengalami kesulitan di
tahapan-tahapan selanjutnya.
Otonomi pada tahapan ini terbentuk
atas rasa percaya dasar yang tercapai ketika masa bayi membuat anak memiliki
keyakinan terhadap diri mereka sendiri serta dapat beradaptasi dengan krisis
psikososial yang ringan pada kehidupan awalnya. Sebaliknya, bila anak tidak
mencapai rasa percaya dasar akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan gaya
otot-uretral-anal selama masa anak-anak awalnya dan hal ini akan menimbulkan
rasa malu dan ragu pada anak untuk memiliki keyakinan akan standar dirinya.
Kekuatan dasar pada masa anak-anak
awal adalah keinginan yang besar terhadap kehendak mereka sendiri. Dalam hal
ini, banyak keinginan eksplorasi pada diri anak yang berlawanan dengan kehendak
orang tuanya. Konflik dasar pada tahap ini terletak pada perjuangan anak akan
otonomi dan usaha orang tuanya untuk mengendalikan rasa malu dan ragu pada diri
anaknya. Terlalu kecilnya keinginan dan terlalu besarnya dorongan akan terbawa
hingga tahapan selanjutnya yaitu kurangnya tujuandan rasa percaya diri.
Masa Anak-anak Tengah (Inisiatif vs Rasa Bersalah)
Periode
usia bermain (3-5 tahun) yang pada teori Freud disebut dengan fase falik.
Erikson berpendapat bahwa Oedipus Complex
yang terjadi pada masa ini hanya salah satu perkembanagn penting dalam usia
bermain. Selain mengidentifikasi orang tua mereka, mereka juga belajar
mengembangkan daya gerak, keterampilan bicara, imajinasi, dan keingintahuan
(Erikson, 1968).
Pada
tahap ini, penyesuaian psikoseksual utama pada anak adalah gaya
lokomotor-genital. Seorang anak mungkin ketika bermain memainkan peran sebagai
ayah,ibu,istri, dan suami tetapi peran tersebut bukan merupakan ungkapan gaya
genital dan merupakan ungkapan berkembangnya kemampuan lokomotor. Ketertarikan
anak-anak pada tahap ini akan aktivitas genital juga dibarengi dengan
perkembangan daya gerak mereka. Mereka dengan mudahnya melakukan aktivitas
berlari, lompat, dan lainnya yang pada tahap ssebelumnya belum bisa mereka
lakukan.
Selain
aktivitas genital dan daya gerak, pada masa ini anak-anak juga mengalami
perkembangan imajinasi yang menuju ke inisiatif berfikir. Banyak hal-hal dalam
imajinasi mereka yang ingin dilakukan seperti menikahi ayah atau menikahi
ibu. Akibat dari tujuan yang tabu dan
terhambat ini, timbulah rasa bersalah. Konflik antara inisiatif dan rasa
bersalah merupakan krisis psikososial utama pada tahap ini. Rasio antara
inisiatif dan rasa bersalah harus condong ke kualitas sintonik tetapi inisiatif
yang tak terkontrol dapat mengakibatkan kekacauan dan kurangnya prinsip moral
pada anak.
Tujuan
merupakan kekuatan dasar pada tahap ini. Banyak tujuan yang ingin dibayangkan
dan ingin dicapai oleh anak-anak pada tahap ini. Apabila rasa bersalah lebih
dominan anak bisa menjadi terlalu terkekang yang merupakan lawan dari tujuan.
Usia bermain juga menjadi tahapan dimana anak mulai mengembangkan penggunaan
hati nurani dan label benar atau salah yang merupakan “landasan moralitas” bagi
anak.
Masa Anak-anak Akhir (Industri vs Rasa Rendah Diri)
Peiode ini ada pada saat anak
berusia sekolah (6-12/13 tahun) yang pada teori Freud ada pada fase laten. Pada
tahap ini lingkungan sosial anak berkembang lebih luas bukan sekedar lingkungan
keluarga melainkan lingkungan rumah dan lingkungan sekolah. Anak mengembangkan
kemampuan komunikasi dan sosial (latensi) mereka dengan orang-orang di sekitar
mereka dan kultur yang ada pada lingkungannya. Anak-anak juga mengembangkan keterampilan
membaca, menulis, atau aktivitas lainnya yang sekiranya mereka rasa cocok
dengan kultur yang ada di dalam lingkungan mereka. Meskipun tahap ini ada pada
periode usia sekolah, sekolah yang dimaksud bukan hanya sekolah formal tetapi
pelajaran-pelajaran yang didapat dari orang-orang dewasa yang ada di sekitar
mereka.
Krisis psikososial utama pada tahap
ini adalah industri versus rasa rendah diri. Industri yang dimaksud adalah
kemauan untuk tetap sibuk dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan
oleh sekolah dan lingkungannya. Mereka akan mendapat kepuasan dari hasil kerja
yang mereka capai. Namun, apabila hasil kerja yang dicapai tidak baik, mereka
akan mengalami rasa rendah diri dan merasa tidak kompeten di sekolah. Erikson
percaya bahwa manusia dapat mengatasi krisis yang mereka hadapi meskipun
mengalami gagal pada tahapan sebelumnya.
Rasio antara industri dengan rasa
rendah diri harus condong kearah industri tetapi rasa rendah diri tidak perlu
dihindari. Rasa rendah diri bisa menjadi pendorong seseorang untuk melakukan
yang terbaik tetapi juga rasa rendah diri yang berlebihan dapat menjadi penghambat produktivitas yang
dapat dicapai oleh anak.
Remaja
(Identitas
versus Kebingungan Identitas)
Pada
periode dari pubertas hingga masa dewasa muda, merupakan salah satu tahapan
perkembangan yang paling krusial karena pada akhir periode ini, seseorang harus
mendapatkan rasa ego identitas yang tetap. Walaupun ego identitas tidak dimulai
maupun diakhiri selama remaja, krisis antara identitas dan kebingungan identitas mencapai puncaknya selama
tahapan ini. Dari krisis identitas versus kebingungan identitas timbul kesetiaan sebagai kekuatan dasar dasar
masa remaja.
Pubertas didefinisikan sebagai
kematangan genital yang memainkan peranan cukup kecil dalam konsep remaja
Erikson. Untuk sebagian orang muda, kematangan genital tidak menampakkan krisi
seksual. Akan tetapi, pubertas penting secara psikologis karena memicu
pengharapan akan peran seksual di masa mendatang-peran yang secara esensial
social dan dapat dipenuhi hanya dengan perjuangan untuk mencapai ego identitas.
Pencarian akan ego identitas mencapai
puncaknya selama remaja sebagai anak muda yang berjuang untuk mencari tahu
siapa dirinya dan bukan dirinya. Dengan berkembangnya pubertas, remaja mencari
peran baru untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan
pekerjaan mereka. Dalam pencarian ini, remaja menarik dari beragam gambaran
diri sebelumnya yang telah diterima dan ditolak. Oleh karena itu, bibit
identitas mulai bertunas selama masa bayi dan terus tumbuh selama masa
kanak-kanak, usia bermain, dan usia sekolah. Lalu diperkuat dengn krisis yang
coba diatasi dari konflik psikososial identitas versus kebingungan identitas.
Sebuah
krisis tidak harus menandakan ancaman atau malapetaka, melainkan “titik balik, periode krusial akan meningkatnya
kerapuhan dan memuncaknya potensi” (Erikson, 1968, hlm.96). Krisis identitas
dapat bertahan selama bertahun-tahun dan dapat mengakibatkan kekuatan ego yang
lebih kuat atau lebih lemah.
Menurut
Erikson (1982), identitas timbul karena dua sumber :
1. Penegasan
atau penyangkalan remaja akan identifikasi masa kanak-kanak, dan
2. Konteks
sosial serta sejarah mereka, yang mendukung konformitas pada standar tertentu.
Anak
muda seringkali menyangkal standar tertua mereka, memilih nilai-nilai teman
kelompok atau sekawan. Bagaimana pun, masyarakat di mana mereka hidup memainkan
peran penting dalam pembentukan identitas mereka.
Identitas
digambarkan, baik secara positif maupun negative, sebagaimana remaja memutuskan
apa yang mereka inginkan dan mereka yakini, sementara juga menemukan apa yang
tidak inginkan untuk menjadi dan apa yang mereka tidak percayai. Seringkali
mereka harus menyangkal nilai-nilai dari orang tua mereka dan menolak
nilai-nilai teman kelompok, dilema yang menguatkan identitas kelompok.
Kebingungan
identitas adalah gejala dari masalah yang mencakup gambaran diri yang terpisah,
ketidakmampuan untuk mencapai keintiman, rasa terdesak oleh waktu, kurangnya
kontrasi pada tugas-tugas yang harus dilakukan, dan penolakan keluarga atau
standar komunitas.
Walaupun
kebingungan identitas merupakan bagian yang dibutuhkan dalam pencarian
identitas, kebingungan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan penyesuaian
patologis dalam bentuk kemunduran ke tahapan sebelumnya dalam perkembangan.
Kita bisa menunda tanggung jawab kedewasaan dan terombang-ambing tanpa sasaran
dari satu perkejaan ke pekerjaan lain, dari pasangan seks satu ke lainnya, atau
dari satu ideology ke yang lainnya. Sebaliknya, jika kita mengembangka rasio
yang baik akan identitas dan kebingungan identitas, maka kita akan memiliki :
1. Keyakinan
dalam prinsip ideologis,
2. Kemampuan
memutuskan secara bebas bagaimana seharusnya bertingkah laku,
3. Rasa
percaya dari kelompok teman dan orang dewasa yang memberikan saran mengenai
sasaran serta aspirasi, dan
4. Rasa
percaya diri akan pilihan pekerjaan saat ini.
Kekuatan dasar yang timbul dari krisis
identitas remaja adalah kesetiaan atau keyakinan terhadap satu ideologi.
Setelah mencapai standar internal tingkah laku, remaja tidak lagi membutuhkan
bimbingan orang tua, namun memiliki rasa percaya diri dalam ideologi agama,
politik, dan sosial mereka sendiri. Rasa percaya yang dipelajari saat bayi
adalah dasar dari kesetiaandi masa remaja. Anak muda harus belajar mempercayai
orang lain sebelum mereka memiliki keyakinan akan pandangan mereka akan masa
depan.
Dewasa Muda
(Keintiman
versus Keterasingan)
Dewasa
muda masa dari sekitar usia 19 sampai 30 tahun, tidak terlalu dibatasi oleh
waktu, namun dimulai dengan adanya keintiman di awal tahapandan perkembangan
generativitas di akhir. Untuk sebagian orang, tahapan ini cukup singkat, hanya
mungkin bertahan beberapa tahun. Untuk yang lainnya mungkin hanya beberapa
decade. Dewasa harus mengembangkan genitalitas yang matang, mengalami konflik
antara keintiman dan keterasingan, serta memperoleh kekuatan dasar cinta.
Banyak
dari aktivitas seksual selama masa remaja adalah ungkapan pencarian akan
identitas dan harus disediakan oleh diri sendiri. Genetalitas sejati dapat berkembang
ketika ia dibedakan dengan rasa percaya yang sama dan berbagi secara stabil
kepuasan seksual dengan seseoran yang dicintai. Ia merupakan pencapaian utama
psikoseksual terhadap masa dewasa muda dan hanya didapati dalam hubungan intim
(Erikson, 1963)
Keintiman
adalah kemampuan untuk meleburkan identitas seseorang dengan orang lain tanpa
ketakutan akan kehilangan identitas tersebut. Keintiman hanya dapat dicapai
ketika seseorang sudah membentuk ego stabil, maka perasaan tergila-gila akan
seseorang yang biasa ditemui pada masa remaja bukanlah keintiman yang
sebenarnya. Orang yang tidak yakin akan akan identitas mereka sendiri, bisa
menarik diri dari keintiman psikoseksual atau mencari keintiman melalu hubungan
seksual yang tidak bermakna.
Sedangkan
lawan dari keintiman adalah keterasingan yang didefinisikan sebagai
ketidakmampuan untuk mengambil kesempatan dengan identitas seseorangdengan
berbagai keintiman sejati (Erikson, 1968, hlm.137). Sebagian orang memiliki
rasa keterasingan karena mereka tidak mampu menerima tanggung jawab orang
dewasa, seperti kerja produktif, prokreasi, dan cinta yang matang.
Cinta
merupakan kekuatan dasar dewasa muda yang muncul dari krisis keintiman versus
keterasingan. Erikson (1968, 1982) mendefinisikan cinta sebagai pengabdian
matang yang mengatasi perbedaan-perbedaan anatara pria dan wanita. Walaupun
cinta mencakup keintiman, ia juga mencakup keterasingan dalam tingkat tertentu karena tiap
pasangan diizinkan untuk mempertahankan identitasnya secara terpisah. Cinta yang
matang berarti komitmen, hasrat seksual, kerja sama, persaingan, dan
pertemanan. Ini adalah kekuatan dasar dewasa muda yang memungkinkan seseorang
untuk berhasil melalui dua tahapan perkembangan terakhir secara produktif.
Dewasa (Generativitas versus Stagnasi)
Masa
dewasa yaitu masa dimana manusia mulai mengambil bagian dalam masyarakat dan
menrima tanggung jawab dari apapun yang diberikan oleh masyarakat. Untuk
sebagian orang, dewasa muda adalah tahapan yang paling lama, dari usia 31
sampai 60 tahun. Masa dewasa ditandai oleh gaya psikoseksual prokreativitas, krisis psikososial generativitas versus stagnasi, dan
kekuatan dasar rasa peduli.
Teori
psikoseksual Erikson berasumsi bahwa dorongan insting mempertahankan spesies.
Dorongan ini adalah lawan dari insting binatang orang dewasa terhadap prokreasi
dan merupakan dari generalitas yang menandai masa dewasa muda (Erikson, 1982).
Dewasa
yang matang menuntut lebih dari prokreasi keturunan. Ia juga mencakup merawat
anak-anak sendiri da juga anak-anak orang lain. Selain itu, ia juga meliputi
bekerja secara produktif untuk menyampaikan kultur dari satu generasi ke
generasi lain.
Kualitas
sintonik masa dewasa adalah generativitas yang didefisinakan sebagai “generasi
akan keberadaan baru sebagaimana produk-produk baud an gagasan-gagasan baru”
(Erikson,1982, hlm. 67). Generativitas, yang berurusan dengan menetapkan dan
membimbing generasi selanjutnya, mencakup prokreasi anak, produksi kerja, dan
kreasi hal-hal serta gagasan-gagasan baru yang berkontribusiuntuk membangun
dunia yang lebih baik.
Erikson
(1982) mendefisinikan rasa peduli sebagai “komitmen meluas untuk merawat
seseorang, produk, dan gagasan seseorang yang harus dipedulikan” (hal. 67).
Sebagai kekuatan dasar dewasa, rasa peduli timbul dari kekuatan dasar timbul
dari kekuatan dasar ego sebelumnya. Seseorang harus memiliki harapan, kemauan,
tujuan, kompetensi, kesetiaan, dan cinta untuk merawat orang-orang yang mereka
sayangi. Rasa peduli bukanlah tugas atau kewajiban, namun dorongan alamiah yang
muncul dari konflik antara generativitas dan stagnasi atau keterpakuan diri.
Usia Lanjut
(Integritas
versus Keputusasaan)
Tahapan
perkembangan kedeplapan dan terakhir adalah usia lanjut. Erikson berusia
sekitar 40 tahun ketika ia pertama kali memikirkan konsep tahapan ini dan
semena-mena mendifinisikan usia lanjut sebagai periode dari usia 60 tahun
sampai akhir kehidupan. Gaya psikososial usia lanjut adalah sensualitas tergenaralisasi, krisis psikososial integritas versus keputusasaan, dan
kekuatan dasar kebijaksanaan.
Erikson
tidak berkata banyak mengenai gaya kehidupan psikoseksual ini, namun seseorang
dapat berkesimpulan bahwa sensualitas tergeneralisasi memliki arti mendapat
kesenangan dalam ragam sensasi fisik yang berbeda seperti penglihatan, suara,
rasa, bau, berpelukan, dan mungkin rangsangan genital.
Di
akhir kehidupan, kualitas distonik akan keputusasaan mungkin akan unggul, namun
bagi orang-orang dengan ego identitas yang kuat dan telah mengalami keintiman
serta merawat orang-orang dan hal-hal lain, kualitas sintonik integritas akan
dominan. Integritas berarti perasaan akan keutuhan dan koherensi, kemampuan
untuk mempertahankan rasa “kesayaan” serta tidak kehilangan kekuatan fisik dan
intelektual.
Pertarungan
tak terelakkan antara integritas dan keputusasaan menghasilkan kebijaksanaan,
kekuatan dasar usia lanjut. Erikson (1982) mendifinisikan kebijaksanaan sebagai
“kepedulian terdidik dan terpisah dengan kehidupan itu sendiri dalam menghadapi
kematian itu sendiri” (hlm. 61). Manusia dnegan kepedulian terpisah bukan
berarti kurang memiliki kepedulian, melainkan mereka menunjukkan minat aktif,
namun tidak berhasrat. Dengan kebijak saan yang matang, mereka memptahankan
integritas mereka walaupun kemampuan fisik dan mentalnya menurun. Kebijaksaan
ditarik dari dan berkontribusi pada pengetahuan tradisional dari generasi ke
generasi. Di usia lanjut, manusia memikirkan persoalan pokok, termasuk
ketidakberadaan (Erikson, Erikson, & Kivnick, 1986).
Metode
Investigasi Erikson
Erikson menyatakan
bahwa kepribadian adalah produk sejarah, kultur, serta biologi, dan metode
investigasi yang beragam. Ia menggunakan metode antropologi, sejarah
sosiologis, dan klinis untuk mempelajari anak-anak, remaja, dewasa yang matang,
dan orang usia lanjut. Berikut dua pendekatan yang Erikson gunakan untuk
menjelaskan dan menggambarkan kepribadian manusia-studi antropologis dan
psikohistoris.
Studi
Antropologis
Pada tahun 1937,
Erikson melakukan ke Indian Pine Ridge Reservation di South Dakota untuk
menyelediki penyebab apatis di kalangan anak-anak Sioux. Erikson (1963)
melaporkan pelatihan awal Sioux dari sudut pandang teori psikoseksual yang baru
berkembang dan perkembangan psikoseksual. Ia mendapati bahwa apatis adalah
ungkapan ketergantungan ekstrem bangsa Sioux yang telah berkembang sebagai
hasil rasa percaya mereka pada program pemerintah federal yang beragam. Dahulu
mereka adalah pemburu banteng yang pemberani hingga akhirnya mereka kehilangan
identitas kelompok mereka dan mencoba setengah hati untuk hidup sebagai petani.
Praktik pengasuhan anak di masa lalu adalah untuk menjadikan anak laki-laki
sebagai pemburu dan anak perempuan menjadi ibu pemburu. Akan tetapi, itu tidak
cocok lagi dengan masyarakat pertanian. Akibatnya, anak-anak Sioux mengalami
kesulitan untuk mencapai rasa ego identitas, terutama ketika mencapai usia
remaja.
Dua tahun kemudian
Erikson melakukan darmawisata yang sama ke Northem California untuk mempelajari
bangsa Yurok. Bangsa Sioux dan Yurok memiliki budaya yang sangat luas ragamnya,
tiap suku memiliki tradisi pelatihan anak-anak muda mereka yang menjadikan
kekuatan masyarakat tersebut. Bangsa Yurok terlatih menangkap ikan, oleh karena
itu tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan tidak menyukai perang.
Erikson (1963) dapat menunjukkan bahwa pelatihan di kanak-kanak awal konsisten
dengan nilai kultur yang kuat dan bahwa sejarah dan masyarakat membantu
terbentuknya kepribadian.
Psikohistoris
Psikohistoris merupakan
bidang kontroversial yang memadukan konsep psikoanalisis dengan metode sejarah.
Freud (1910/1957) menghasilkan psikohistoris bersamaan dengan investigasi
terhadap Leonardoda Vinci dan berkolaborasi dengan duta Amerika, William Bullit
untuk menulis studi psikologis mengenai presiden Amerika. Woodrow Wilson (Freud
& Bullit, 1967). Walaupun Erikson (1975) beranggapan buruk mengenai studi
itu, ia menggunakan menggunakan metode psikohistoris tersebut dan
memperbaikinya, terutama dalam studinya mengenai Martin Luther (Erikson, 1958,
1975) dan Mahatma Gandhi (Erikson, 1969, 1975). Mereka adalah orang-orang luar
biasa dengan konflik hak asasi pribadi yang membutuhkan penyelesaian kolektif
akan apa yang tidak dapat deselesaikan secara individual (E. Hall, 1983).
Erikson (1974)
mendefinisikan psikohistoris sebagai “studi individual dan kehidupan kolektif
dengan metode yang memadukan psikoanalis dan sejarah”. Ia menggunakan
psikohistoris untuk menunjukkan keyakinan utamanya bahwa setiap orang adalah
hasil masa sejarahnya dan bahwa masa sejarahdipengaruhi oleh pemimpin luar
biasa yang mengalami konflik identitas pribadi.
Sebagai pengarang
psikohistoris, Erikson percaya ia harus terlibat secara emosional dengan
subjek.
Berbeda dengan
individu-individu neurotik yang krisis identitasnya berakhir dengan patologi
inti. Erikson (1969) menggambarkan perbedaan antara konlik-konflik pada
orang-orang hebat, seperti Gandhi dan orang- orang terganggu secara psikologis,
“Jadi, ini merupakan perbedaan antara kasus sejarah dan sejarah hidup: pasien,
besar ataupun kecil, melemahkan konflik dalam diri mereka tetapi dalam kenyataan
sejarah, konflik dalam diri hanya menambah momentum yang sangat dibutuhkan untuk
semua usaha manusia super”
(hlm.363)
DAFTAR
PUSTAKA
Feist, J., & Feist,G.J. (2014). Theories of Personality (7th ed.). Jakarta: Salemba
Pervin, L.A., Cervone, D., & John, O.P.
(2004) Psikologi Kepribadian: Teori dan
Penelitian (9th ed.). Jakarta: Prenadamedia Group
terimakasih informatif sekali:)
BalasHapusTerimah kasih. Sangat membantu bnget.
BalasHapusTerimah kasih. Sangat membantu bnget.
BalasHapus