Psikologi
Jawa
Doktrin
Hindhu-Buddha Terhadap Masyarakat Jawa
Sistem kemasyarakatan jawa
dibangun di atas pondasi kegotong-royongan, sikap hidup nerimo, ketentraman batin, patuh terhadap norma-norma yang berlaku
di masyarakat, dan hidup selaras dengan alam.
Doktrin Hindu yang
terkandung adalah Tri Hita Karana, yaitu
parahyangan, pawongan, dan palemahan. Parahyangan berarti hubungan manusia
dengan Tuhan yang diwujudkan melalui jalan catur marga. Catur Marga ialah empat
cara mengamalkan agama Hindu dalam kehidupan dan dalam bermasyarakat.
Bagian-bagian Catur Marga antara lain :
·
Bhakti Marga : Bhakti atau sembahyang berarti hidup dalam kasih sayang terhadap
sesama makhluk.
·
Karma Marga : Melakukan dharma atau kebajikan seperti mendirikan tempat suci dan
merawatnya, menolong orang yang kesusahan, melaksanakan kewajiban sebagai
makhluk sosial yang dilandasi dengan ikhlas dan rasa tanggung jawab. Pengalaman
agama tersebut dilakukan dengan kerja (karma).
·
Jnana Marga : Mengamalkan agama dengan jalan mempelajari, memahami, menghayati,
menyebarkan agama dan ilmu pengetahuan modern dalam kehidupan sehari-hari.
·
Raja Marga : Mengamalkan agama dengan melakukan yoga, bersemadi, tapa atau
melakukan brata (pengendalian diri) dalam segala hal termasuk upawasa (puasa)
dan pengendalian seluruh indra.
Dalam
kehidupan orang Jawa, doktrin-doktrin tersebut diwujudkan melalui filosofi narimo ing pangdum (menerima apapun
telah diberikan Tuhan). Filosofi tersebut berarti segala yang ada dalam
kehidupan ini telah digariskan oleh Tuhan, manusia hanya bisa menerima, tetapi
harus tetap berusaha dan berdoa. Hindu mengajarkan pula bahwa setiap orang yang
lahir telah dibekali dengan potensi masing-masing yang harus dikembangkan
selanjutnya dalam kehidupan nyata. Oleh karena semua aspek kehidupan ditentukan
oleh Tuhan melalui hukum karma-Nya, maka manusia diharuskan untuk selalu
ber-karma (bertindak) sesuai dengan dharma, dan semua karma itu dilakukan
sebagai persembahan (yajna) kepada
Tuhan.
Hindu
mengajarkan bahwa sikap dan etika harus dilakukan berdasarkan tri kaya parisudha, yakni pikiran,
perkataan, dan tindakan. Doktrin Hindu tersebut menekankan pada internalisasi
nilai etika, bukan sekedar menjadi bungkus saja. Jadi, pikiranlah yang
menentukan perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu, pikiran harus diusahakan untuk
tidak menginginkan milik orang lain, mengasihi semua makhluk, dan percaya pada
hukum karmaphala (prinsip kausalitas).
Dalam budi pekerti jawa, hal tersebut diterjemahkan dalam terminologi ojo demen darbeking wong liyo (jangan
menginginkan milik orang lain), welas
asih marang sesomo (cinta kasih pada sesama), ngunduh wohing pakarti sopo
kang nandur bakal ngunduh (bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan
mendatangkan hasil, siapa yang menanam pasti akan memetiknya).
A. Doktrin Islam Terhadap Masyarakat
Jawa
Filsafat
Hindhu-Buddha telah mempengaruhi filsafat Jawa, namun sesudah Islam masuk,
banyak konsep yang diubah sesuai ajaran
Islam. Mirip dengan filsafat Hindhu-Buddha, filsafat jawa juga menekankan
pentingnya kesempurnaan hidup. Manusia berfikir dan merenungi dirinya dalam rangka
menemukan integritas dirinya dalam kaitannya dengan Tuhan. Dimensi ini adalah
karakteristik yang dominan dan tidak dapat dilepaskan dengan kecenderungan
hidup manusia Jawa. Pemikiran-pemikiran Jawa merupakan suatu usaha untuk
mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam
keadaan demikian, Islam masuk dan menyesuaikan pemahaman itu, bahwa
kesempurnaan hidup hanya dapat dicapai dengan taat kepada Allah, dimana Dia
adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan dipatuhi. Tatanan agama
tersebut berupa syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Ciptoprawiro (1986:28)
menyebutkan bahwa para wali pada zaman kerajaan Demak, lebih menekankan
ke-Esa-an Tuhan dengan nama Allah. Zaman Demak ini juga didapatkan istilah manunggaling
kawula Gusti berkat sifat demokratis Islam dan isi Sahadad, yang juga menyebut
Muhammad sebagai hamba, abdi, atau kawula. Gerak kembali manusia kepada Allah
digambarkan dalam empat tingkat, yaitu syariat berupa hukum menjalankan rukun
Islam, tarikat merupakan jalan menuju Allah, hakikat merupakan kebenaran, dan
makrifat merupakan pengetahuan dan manunggal. Ilmu kesempurnaan hidup
ditunjukkan oleh Islam bahwa pelaksanaan ilmu Tuhan dalam hidup ada empat hal,
yaitu syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat wirid. Syariat wirid dalam
menyebut kalimat Lailaha ilallah
(tiada Tuhan selain Allah).
Oleh
karena kedatangan Islam adalah yang terakhir setelah adanya doktrin
hindhu-buddha, maka terjadi sinkretisme dalam masyarakat jawa. Sinkretisme
adalah paham (aliran) baru yang
merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari
keserasian, keseimbangan, dan ketenangan dalam hidup.
Salah satu perpaduan dari doktrin hindhu-buddha dan Islam begitu popular di
kalangan orang jawa adalah Tirakat. Tirakat merupakan kegiatan berpuasa pada
hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Walaupun puasa merupakan ritual
dalam Islam, tetapi orang jawa yang bukan Islam biasanya juga melaksanakan
puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain. Inti dari ritual tirakat
adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup dan mendapatkan
keteguhan iman terhadap Sang Pencipta. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan
yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan.
Pemeluk Agami Jawi yang merupakan non-Islam atau Islam kejawen, percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam
melatih keteguhan pribadi.
Tirakat ini dalam masyarakat jawa memiliki berbagai jenis di antaranya mutih,
siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni.
Mutih berarti seseorang berpantang
makan selain nasi putih yang dilakukan pada hari senin dan kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan
ramadhan sebulan penuh. Nglowong
adalah puasa beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam
jumlah sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua
hari. Ngebleng berarti berpuasa dan
menyendiri dalam ruangan tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang
waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti berpuasa di dalam
suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus cahaya.
Jenis ritual tersebut sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu.
Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik
tapa-brata dan semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas
merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk
kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan
konsentrasi untuk mencapai penyatuan terhadap Sang Hyang Widhi. Pada intinya,
tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa
menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan praktik prihatin ini, seseorang
berharap semakin dekat pada Tuhan.
1. R.M. Panji Sosrokartono
Raden
Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada tanggal 10 April 1877. Beliau
adalah putra dari R.M Adipati Sosroningrat, bupati Jepara. Setelah tamat dari
Eropeche Lagere School di Jepara, kemudian melanjutkan pendidikannya ke H.B.S
di Semarang. Pada tahun 1898 beliau meneruskan sekolahnya di Belanda di jurusan
Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama
yang meneruskan pendidikan di Belanda. Setelah mendapatkan gelar sarjana dari
Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa. Beliau pernah
bekerja sebagai wartawan selama perang dunia I dan setelah perang selesai
beliau bekerja sebagai penerjemah. Kemudian beliau tertarik untuk mempelajari
Psychometrie dan Psychoteckniek di Perancis. Beliau meninggal pada tanggal 8
Februari 1952 di Bandung.
Beliau dikenal sebagai
orang yang benar-benar prihatin akan nasib bangsanya dan memanfaatkan berbagai
kearifan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bangsanya yang pada saat itu
dijajah bangsa lain. Contohnya pernyataan
beliau yang banyak dianut orang jawa, yaitu: “Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa
aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake” yang artinya “kaya tanpa
harta, kuat tanpa ajimat, menyerang tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan”
a. Teori
Panji
Sosrokartono menyebut dirinya Mandhor Klungsu. Klungsu artinya cikal bakal
pohon kelapa. Apabila manusia diumpamakan sebagai kelapa, maka orang harus
mengupas dulu sabutnya untuk ketemu tempurung, perlu mengupas tempurung untuk
ketemu klungsunya. Beliau menorehkan tanda alif di rumah beliau di Darussalam
Bandung. Alif disini artinya aku, seorang individu manusia yang sadar akan
dirinya. Inilah titik awal dimulainya pencarian jati diri manusia. Secara
metafisis, dibalik manusia yang menelanjangi topeng dan bungkus dirinya agar menemukan
alif-nya. Hal ini bisa terjadi bila seseorang pasrah menyerah total pada Tuhan.
Panji Sosrokartono lebih dekat dengan aliran Neo-Platonisme dalam konsep
tentang manusia, namun manusia yang bisa kembali pada Tuhan adalah manusia yang
eksistensial dalam pandangan Kierkegaard, manusia yang secara hakiki mampu
mengendalikan emosi untuk menuju kehidupan yang lebih bermakna. Konsep Alif ini
dalam pandangan Barat disebut egoless ego, self, seperti yang ditelaah oleh
C.G. Jung.
2.
Aliran Candra Jiwa Soenarto
Aliran
ini diturunkan dari babon kitab Sasangka Jati oleh Soemantri Hardjoprakosa.
Dalam aliran psikologi ini manusia hidup dalam tiga “lingkungan”, yakni alam
sejati (sadar), badan halus, dan badan jasmani. Di alam sejati ada suksma
kawekas, suksma sejati, dan roh suci. Suksma kawekas adalah “ada” yang tidak
berubah, suksma sejati adalah “ada yang berubah”, sedangkan roh suci adalah
“ada” manusia dalam badan halus. Ketiganya disebut “Tri Purusa”, dan “Aku”
adalah cerminan dari Tri Purusa. Manusia melalui Rahsa Jati dalam berkomunikasi
dengan Roh suci, Suksma sejati, dan Suksma kawekas, apabila ia selalu sadar,
percaya dan taat pada Tuhan.
Menurut
Soenarto, jiwa manusia mempunyai empat kemampuan: Angen-angen yang membuat
manusia eling. Cipta yang membawa pangaribaw. Perasaan manusia adalah dasar
dari pracaya, sementara nafsu (amarah, supiahh, mutmainah, lauwamah) adalah
dasar dari taat. Candra Jiwa Soenarto ini ketika di dunia psikologi modern
Indonesia telah berkembang apa yang disebut dengan “Transpersonal Psychology”.
3. Ajaran Ki Ageng Soerjomentaram
Pada
awalnya ajaran Ki Ageng Soerjomentaram diberi nama Kawruh Bagja Sawetah dan
kemudian Kawruh Jiwa. Ki Ageng menyatakan bahwa hidup akan mencapai tahap
kebahagiaan yang sempurna apabila rasa itu ditata, karena di dunia ini tidak
ada yang layak untuk dihindari secara mati-matian atau dikejar secara
mati-matian.
Menurut
Ki Ageng, ada enam kaidah dalam hidup yang disebut dengan “6 Sa” yaitu:
sabutuhe, saperlune, sacukupe, sapenake,
samesthine, sabenere (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, seenaknya,
semestinya, dan sebenarnya).
Dalam
ajaran Ki Ageng Soerjomentaran, ada tiga pokok penting yaitu rasa, aku, dan
mawas diri. Rasa adalah kesadaran manusia seutuhnya yang mendorong mekhluk
hidup untuk bergerak. Bergerak dalam hal
ini maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup.
Suryomentaram lahir pada tanggal 20 Mei 1892. Suryomentaram adalah anak dari Sultan Hamengku Buwono VII dengan permaisurinya yang bernama Raden Ayu Retnomandaya. Permaisuri tersebut adalah putri dari Patih Danureja VI atau Pangeran Cakraningrat. Putra pertama Retnomandaya ini terlahir sebagai anak ke-55 dari Sultan. Oleh sang ayah, jabang bayi Suryomentaram diberi nama Raden Mas (RM) Kudiarmaji. RM Kudiarmaji tumbuh di lingkungan keraton. Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama dua tahun lebih. BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Ketika
menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi
pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. Tahun demi tahun
berlalu, sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu
yang kurang dalam hatiya. Meskipun mendapatkan semua fasilitas kepangeranan
Pangeran Suryomentaram, ternyata beliau merasakan ada sesuatu yang kurang.
Setiap hari Suryomentaram hanya bertemu dengan yang disembah, diminta,
diperintah, dimarahi. Suryomentaram merasa tidak puas karena merasa belum
pernah bertemu dengan orang yang bisa membuatnya merasa sebagai layaknya
manusia normal. Yang ditemui dalam sehari-harinya hanya sembah, perintah, marah,
minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Suryomentaram merasa masygul dan
kecewa sekalipun beliau adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.
Kesimpulan
Karakteristik masyarakat jawa adalah religius, toleran,
akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat,
dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut:
a.
percaya kepada Tuhan Yang
Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi (pencipta sekaligus asal kehidupan) dengan segala
sifat-Nya.
b.
idealistis, percaya kepada
sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan), percaya hal-hal yang
bersifat supranatural, serta
cenderung ke arah mistikisme.
c.
lebih mengutamakan hakikat
daripada segi-segi formal dan ritual.
d.
mengutakaman cinta kasih
sebagai landasan pokok hubungan antar manusia.
e.
percaya kepada takdir dan
cenderung bersikap pasrah.
f.
bersifat konvergen dan
universal.
g.
non-sektarian.
h.
cenderung pada simbolisme.
i.
gotong royong, guyub, rukun, dan damai.
j.
kurang kompetitif dan kurang
mengutamakan materi.
Daftar
Pustaka
Koentjaraningrat.
1994. Kebudayaan jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Ridwan.
2008. Mistisisme simbolik dalam tradisi islam jawa. P3M STAIN Purwokerto Ibda’. Vol.6(1).
Wibawa, S. 2013. Filsafat jawa seh amongraga dalam serat
centhini sumbangannya bagi pendidikan karakter. Yogyakarta: UNY Press.
Klungsu kok cikal bakal pohon kelapa ta? Klungsu itu kan biji buah asam.
BalasHapus