DEFINISI DAN
SEJARAH
Tasawuf
(Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk
mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir
dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya
merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya
melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (berbagai aliran dalam Sufi) sering
dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari
beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8,
sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
Ada beberapa
sumber perihal etimologi dari kata “Sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu
berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol,
merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak
semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain
menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti
kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.
Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie
artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain
menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari “Ashab al-Suffa” (“Sahabat
Beranda”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang orang beranda”), yang mana dalah
sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di
beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Banyak pendapat
yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari
luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu
tasauf sanga lah membingungkan.
Sebagian
pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang
sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah
Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang
yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah
masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk
mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan
berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada
waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba
yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi
penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian
disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang
penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian
pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi
Muhammad SAW. Berasal dari kata “beranda” (suffa), dan pelakunya disebut dengan
ahl al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam
benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad.
Pendapat lain
menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.
Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan
kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan
Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap
bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka
melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah
duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf
yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian
diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah
al-‘Adawiyah
Beberapa
definisi sufisme:
•
Yaitu paham
mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di
India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
•
Yaitu aliran
kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van
Haeringen).
Pendapat yang
mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:
•
Asal-usul
ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk
bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal,
yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi
disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah
dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995)[4]
•
Seorang penulis
dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha’rani mendefinisikan Sufisme sebagai
berikut: “Jalan para sufi dibangun dari Qur’an dan Sunnah, dan didasarkan pada
cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa
disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur’an, sunnah,
atau ijma.” [11. Sha’rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.][5]
•
Al Quran pada
permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang
saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan
pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari
pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat
ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari
hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang
ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad
2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal
orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya
beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak
ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat
kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan.
Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas
mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan
guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada
permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan
India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam
(Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).
•
Paham tasawuf
terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara
orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang
Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai paham mistik.
Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit
mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak
ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya
(MH. Amien Jaiz, 1980)[6]
•
Tasawuf dan
sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan
“Sufi”. Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan
pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi
periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang
keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan
terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan
kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin
umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia,
serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha” – At
Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc)[7]
Dengan munculnya sufi seperti ini, manusia bisa mengaplkasikannya
pada kehidupan sehari-hari. Bagaimana mentransformasikannya ke hati, diri, dan
jiwa.
Tasawuf dibagi menjadi tiga kategori yaitu
Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Amali, dan Tasawuf Falsafi. Tasawuf
akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada penggunaan tasawuf
sebagai instrument untuk melakukan kebaikan-kebaikan di dalam kehidupan dalam
kaitannya dengan hablum minallah dan hablum minan nas.
Di dalam tasawuf
ini, yang dipentingkan adalah membangun perilaku yang berdasarkan atas
akhlak mahmudah atau akhlak terpuji. Tasawuf akhlaki merupakan ajaran tasawuf
yang mengajarkan tentang perilaku luhur atau akhlak al karimah. Untuk mencapai
tujuan ini, maka seseorang harus melakukan mujahadah, riyadhah dan muraqabah,
sehingga dimungkinkan untuk diberi kemampuan menyerap akhlak Allah.
Tasawuf ‘amali adalah ajaran tasawuf yang lebih
menekankan kepada amaliyah yang baik dalam ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan
bagaimana melakukan hubungan dengan Allah dalam ibadah dan dzikir atau wirid
yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla, kedekatan dan kelezatan
bersama Allah swt. Tasawuf Amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki dan
penajaman. Tasawuf ‘amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah,
dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu untuk
“menyesuaikan diri” dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya
kepada Allah SWT. Konsep syari’at, tariqat dan haqiqat atau tahalli, takhalli dantajalli adalah
bagian dari konsepsi tasawuf ‘amali.
Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang di dalamnya
terdapat corak pemahaman keagamaan yang esoteric berbasis pada “kemenyatuan”
hamba dengan Tuhannya yang disebut wahdat al wujud (A.
Khudlori Sholeh) atau di dalam istilah Jawa disebutmanunggaling kawulo
Gusti.
Dalam perkembangannya, tasawuf
akhlaki dan ‘amali memperoleh lahan subur di dalam kehidupan masyarakat.
Tasawuf falsafi hampir-hampir tidak berkembang disebabkan oleh stereotipe
tentang tasawuf falsafi yang dianggap menyimpang. Tasawuf
akhlaqi dan amali jika bergabung akan lebih menjamin lahirnya karakter yang
kuat dan hakiki, bahkan dapat memberi pengaruh pada lingkungannya tanpa mampu
dipengaruhi oleh kepribadian lain yang kontra produktif terhadap karakter
universal.
STRUKTUR
KEPRIBADIAN
A.
QALB
Qalb atau kalbu atau hati yang dimaksudkan adalah hati spiritual. Cita-cita para sufi dari hati
adalah untuk menumbuhkan hati yang lembut, penuh kasih sayang, dan kecerdasan
hati. Qalb (fitrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang
mmiliki daya emosi (rasa)
Jika mata hati terbuka maka kita dapat melihat segala sesuatu yang
tampak palsu dari luar dan jika telinga hati terbuka maka kita akan mampu
mendengar suatu akan kepalsuan dari ucapan seseorang. Cinta adalah dasar
disiplin spiritual sufi lainnya, sedangkan rumah dari cinta adalah hati.
Adapun tingkatan qalb dari tiap manusia berbeda, syakni dibagi
menjadi tiga tingkatan:
1.
Hati yang labil
atau belum mantap (qalb)
Kondisi
hati dalam tingkatan ini biasanya senantiasa dihiasi oleh perasaan ragu-ragu,
was-was, dan sering berburuk sangka. Hati ini merupakan sasaran empuk yang
menjerumuskan manusia pada hal yang negatif karena tidak memiliki pendirian dan
prinsip hidup yang jelas.
2.
Hati yang telah
sadar (shadr)
Hati
yang dimaksud adalah hati yang telah
dapat menerima kebenaran Allah SWT, sehingga hati itu terlepas dari
himpitan, kbingungan, was-was, dan ragu-ragu tentang kebenaran-kebenaran-Nya
3.
Hati yang telah
kokoh dan mantap (fu’ad)
Fu’ad dimiliki
oleh mereaka yang telah mencapai derajat jiwa rabbani. Apa yang ditampakan oleh
hatinya, dirasakan dan diilhamkan dalam hatinya tidak ada kebohongan dan tipu
daya, sebab hati itu melihat dalam bimbingan cahaya ketuhanan yang masuk
kedalam hati itu.
B.
AKAL
Akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki
daya kognisi. Akal adalah daya berpikir yang ada dalam diri manusia serta
mengandung arti berpikir, memahami, dan mengerti.
Akal sebagai daya berpikir yang terdapat di kepala dibagi dua,
yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis adalah akal yang menerima
arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat. Sedangkan akal
teoritis menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tidak terdapat dalam
materi, seperti Tuha, ruh, dan malaikat. Akal praktis memusatkan diri pada alam
materi, sedangkan akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan
perhatian pada alam immateri.
Sebagaimana halnya dengan qalb, akal juga memiliki
tingkatan-tingkatan, apabila dilihat dari hakikat dan kerjanya. Sehubung dnagn
itu, akal manusia dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1.
Akal Awam
Yaitu
akal yang dimiliki oleh kebanyakan orang atau pada umumnya. Kerja akal pada
tingkat ini sangat bersifat normatif dan trbatas menurut apa adanya, belum
dapat memahami dibalik apa adanya.
2.
Akal Khawas
Yaitu
akal yang dimiliki oleh para intelektual, ulama, dan pemikir. Akal pada tingkat
ini telah terlatih berpikir dengan baik dalam memahami objek-objek apa saja,
secara sistematis dan metodologis. Dapat disebut juga sebagai akal ilmiah atau
filosofis.
3.
Akal Khawas bil
Khawas
Yaitu akal yang
dimiliki oleh para nabi, rasul, dan ahli waris mereka (auliya) Allah. Daya
berpikir pada tingkatan ini bukan melalui usaha sebagaimana pada tingkatan awam
dan khawas, akan tetapi tingkat akal ini merupakan anugrah dan karunia Allah atas ketaatan dan ketakwaan
hamba-Nya. Tingkatan akal ini dapat disebut juga akal Ilahiyah.
C.
NAFS
Nafs atau diri kadang diterjemahkan sebagai ego/ jiwa. Nafs
merupakan aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang memiliki daya konasi. Istilah
nafs dalam psikologi sufi lebih cenderung terhadap sesuatu yang negatif. Nafs
bertemat diantara jasad dan ruh sehingga mencakup sisi-sisi materil dan
spiritual. Pada awalnya manusia akan cenderung tertarik kepada duniawi. Namun
setelah bertransformasi, nafs akan lebih tertarik terhadap tuhan
dibandingkan dengan duniawinya.
Tingkat
dasar dari nafs adalah tirani yang mendorong manusia untuk menjauh dari
spiritual untuk menyakiti orang lain. Menurut psikolog, sufi dan filsuf, tirani
merupakan akar dari distorsi pemikiran dan pemahaman serta sumber bahaya yang
terbesar bagi diri kita sendiri maupun orang lain.
Disisi
lain, tingkatan nafs tertinggi adalah nafs yang suci, yakni nafs yang
bagaikan cahaya illahi tanpa satupun noda cacat terkandung didalamnya. Nafs
yang ini hanya dimiliiki oleh rasul dan nabi.
Nafs dalam manusia juga memiliki tingkatan. Berikut ini tingkatan nafs:
1.
Nafs Tirani
Nafs tirani
merupakan nafs terendah yang ada dalam diri manusia. Ia berada jauh
diluar kesadaran manusia. Nafs ini cenderung memerintahkan manusia untuk
melakukan hal negatif, namun tidak jarang pula tidak ada gerakan dalam diri
individu itu sendiri untuk memberontak atas nafs tirani. Orang yang memiliki
nafs ini juga dapat melakukan kegiatan keagamaan, namun hal itu ia lakukan
bukan karena untuk melaksanakan perintah dari tuhannya melainkan untuk
mendapatkan penghargaan semata.
Kecerdasan yang ia lakukan hanya untuk menambah harta, kekuatan,
kekuasaan, tanpa melibatkan tuhan didalamnya. Ia tidak akan takut akan dosa
ataupun merasakan kesalahan ketika melakukan sesuatu, karena dalam dirinya
tidak terdapat moral batiniyah.
Nafs tirani menginginkan orang lain untuk dapat menyukai, mengagumi,
bahkan tunduk pada diri kita. Hal ini lebih buruk bila dibandingkan dengan
membunuh seseorang, karena ia mengakar dalam jiwa dan hal ini akan terus
berlanjut tanpa batas kecuali jika ia telah sadar bahwa ia telah terbawa oleh
nafsunya sendiri. Banyak psikolog yang
tidak dapat menganalisa penyakit nafs karena pada dasarnya dalam diri mereka
juga telah melekat nafs yang telah mengakar dalam jiwa.
Cara menangani nafsu tirani :
·
Menurut madzhab
Malamatiyyah adalah menghindari untuk mendekati ketenaran dan menjauhi perilaku
ataupun penampilan yang akan menghadirkan pujian ataupun perlakuan istimewa.
Hal ini dilakukan karena sampai kapanpun nafsu tirani tidak akan hilang, yang
dapat kita lakukan adalah dengan membuatnya tertidur dan jangan sampai nafs tirani
tersebut terbangun. Mungkin manusia dapat menyombongkan dirinya bahwa ia telah
dapat menguasai kesombongan, kebanggaan atas dirinya. Namun pada dasarnya, nafs
tirani dapat saja terbangun tanpa ia sadari. Dan langkah akhir yang perlu
dilakukan adalah dengan mentransformasi diri. Nafs tirani memang tidak mudah
untuk dihindari. Bahkan terkadang banyak orang yang enggan untuk meninggalkan
nafs ini karena takut bahwa kehidupan lamanya adalah sesuatu yang lebih baik
dibandingkan dengan gaya hidupnya yang baru. Ketakutan ini tidak akan hilang
dan membawa perubahan hingga ia sendiri mencoba untuk melakukannya dan yakin
bahwa pertolongan tuhan akan datang kepadanya.
·
Menurut Syekh
Nurbkhs yang juga seorang psikiater, nafs tirani tidak dapat dihancurkan.
Menghacurkan nafs tirani sama saja menghancurkan diri kita sendiri. Kita dapat
mentransformasikan kecenderungan negatif yang ada dalam nafs tirani menjadi
sesuatu yang positif. Misalnya kekikiran diubah menjadi kedermanwanan,
kemarahan diubah dengan pengertian. Selain itu, kita juga dapat menyucikan hati
dan membuka hati dengan mengingat tuhan.
2.
Nafs Penyesalan
Orang yang telah mengingat tuhannya dan mendapatkan cahaya dari
tuhannya akan merasakan penyesalan terhadap dosa yang telah ia lakukan.
Bagaikan pecandu narkoba yang sadar akan dampak candu yang ditimbulkan dari
obat-obatan tersebut, ia tidak hanya membutuhkan kesadaran saja, melainkan
butuh pengobatan untuk menghilangkan rasa candunya.
3.
Nafs Yang Terilhami
Pada tingkatna nafs ini, manusia mulai menikmati meditasi, berdo’a,
dan kegiatan spiritualnya. Ia mulai menyadari betapa cintanya ia kepada
tuhannya, dan betapa tuhan lebih mencintai dirinya daripada ia mencintai
tuhannya. Sifat sifat tingkat ini adalah kearifan, qanaah, tawakkal, dan
taubat. Orang yang mencapai tingkat nafs yang terilhami ini dapat mendengarkan
kata hati nurani mereka. Bahkan bagi para darwis ataupun sufi, mereka dapat
mendengar kata hati nurani gurunya.
Namun dalam tingkat ini, nafs masih tergolong rapuh. Ia
masih mudah untuk goyah pada nafs tirani, dan tergoda akan keinginan
untuk penghargaan, pujian dan kemunafikan atas penyesalan yang ia lakukan.
4.
Nafs Yang Tenteram
Sifat-sifat yang ada pada tingkatan ini adalah keyakinan terhadap
tuhan, perilaku baik, kenikmatan spiritual, pemujaan, rasa syukur, dan kepuasan
hati. Pada tingkatan ini, manusia merasakan puncak spiritual. Ia merasakan kepuasan
dan teramat mensyukuri atas segala sesuatu yang diberikan tuhan terhadapnya.
Hal ini terwujud karena rasa cinta terhadap tuhan ang teramat dalam. Sehingga
apapun yang diperintahkan tuhan merupakan suatu titah yang harus ia jalankan
tanpa ada keluhan. Bagaikan cinta seseorang terhadap orang yang ia cintai.
Apapun yang diinginkan oleh orang yang ia cintai pasti akan ia lakukan dengan
senang hati.
5.
Nafs Yang Rida
Pada tingkat nafs rida, Seseorang tidak hanya mensyukuri atas
rezeki atau kenikmatan yang diberikan terhadapnya saja melainkan ia juga
menyukuri dan rida atas cobaan yang diberikan tuhan kepadanya. Ciri-ciri dari
tingkatann ini adalah keajaiban, kebebasan, ketulusan, perenungan, dan ingat
terhadap tuhan. Keajaiban disini adalah terkabulnya do’a yang diinginkan oleh
seorang hamba terhadap rabbnya.
6.
Nafs Yang Diridhai Tuhan
Pada tingkatan ini, manusia menyadari bahwa kekuatan untuk
bertindak datangnya dari tuhan.
7.
Nafs Yang Suci
Pada tingkatan ini, tidak ditemukan ego ataupun nafs, masa ini
adalah waktu ketika seseorang telah melampaui arti dari dirinya, masa ketika
seseorang merasakan telah menyatu dengan tuhannya. Inilah masa dimana seseorang
bagaikan mati sebelum mati. Untuk mencapai ini, seseorang harus menghilangkan
rasa aku yang ada dalam dirinya seakan akan apapun yang ia lakukan bukan karena
dirinya, melainkan yang ada hanyalah tuhan.
TIPE KEPRIBADIAN
Kepribadian
menurut sufi adalah integrasi sistem qalb, akal, dan nafs manusia yang
menimbulkan tingkah laku. Ketiga komponen ini berintegrasi untu membentuk
sebuah perilaku dan bekerjasama seperti satu tim yang berpusat di kalbu. Namun,
dalam kondisi khusus, masing-masing komponen berebut saling berlawanan,
tarik-menarik, dan saling mendominasi untuk membentuk sebuah perilaku. Kondisi
khusus ini terjadi apabila tingkah laku yang diperbuat memiliki sifat-sifat
ganda yang bertentangan.
Masing-masing
komponen memiliki bagian dalam pembentukan kepribadian, walaupun salah satu
bagiannya dominan. Abd al-Mujin membagi tipe kepribadian berdasarkan komponen
pembentuk sebagai berikut:
1.
Kepribadian Muthmainnah
Kepribadian
ini didominasi oleh kalbu (55%) yang dibantu oleh daya akal (30%) dan daya
nafsu (15%). Kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga
dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat baik. Kepribadian
ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mndapatkan kesucian dan
menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang.
Kepribadian
muthmainnah terbagi menjadi tiga jenis keprbadian:
a.
Kepribadian
muslim yang memiliki enam bentuk kepribadian: rabbani atau ilahi, maliki,
qurani, kepribadian rasul, yawm akhiri, dan taqdiri
b.
Kepribadian
Muslim: syahadatain, mushali, shaim, muzakki, dan haji
c.
Kepribadian
Muhsin, yang memiliki multibentuk kepribadian
2.
Kepribadian
Lawwamah
Tipe
kepribadian ini didominasi oleh daya akal (40%) yang dibantu oleh daya kalbu
(30%) dan daya nafsu (30%). Kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu,
lalu bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upaya itu,
kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk disebabkan olh watak gelapnya, anmun
kemudian diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan
selanjutnya bertaubat dan beristighfar.
3.
Kepribadian
Amarah
Sedangkan
kepribadian amarah didominasi oleh daya nafsu (55%) yang dibantu oleh daya akal
(30%) dan kalbu (15%). Kepribadian ini cenderung mengejar pada tabiat jasad dan
mngjar prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga
merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzakiey, Hamdani. B. (2006). Psikologi kenabian. Yogyakarta:
Penerbit Daristy.
An-Najar, Amir. (2004). Psikoterapi sufistik dalam kehidupan
modern. Jakarta: Penerbit Hikmah Kelompok Mizan.
Franger, Robert. (2014). Psikologi sufi. Penerjemah Hasmiyah
Rauf. Jakarta: Penerbit zaman.
Munir, Abdul. (2013). Paradigma Tasawuf dalam pembentukan karakter.
Diunduh dari http://bdkbanjarmasin.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=109